Ilmu Dakwah Dilihat Dari Segi Ontologi, Epistimologi,
Dan Aksiologi
A. Landasan Ontologi Ilmu Dakwah.
Lazimnya kita memandang ilmu sebagai bagian dari pengetahuan, baik Soeroso Prawirohardjo di fakultas pasca sarjana Universitas Gajah Mada, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas. Ciri khas atau karakteristik pengetahuan itu keilmuan itu mencerminkan landasan-landasan ontologi, epistimologi, aksiologi.
Ontologi adalah cabang metafisika mengani realitas yang berusaha mengungkap ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khusus.ontology suatu telaah teoritis adalah himpunan terstruktur yang primer dan basit dari jenis-jenis entitas yang dipakai untuk memberikan penjelasan dalam seperti itu, jadi landasan ontology suatu pengetahuan mengacu apa yang digarap dalam penelaahannya, dengan kata lain apa ynag hendak diketahui melalui kegiatan penelahan itu.
Seperti disebut diatas yaitu bahwa landasan ontology adalah menelaah apa yang hendak diketahui melalui penelahan itu, dengan kata lain apa yang menjadi bidang telaah ilmu dakwah. Berlainan dengan agama, maka ilmu dakwah mengatasi dirinya kepada bidang-bidang yang bersifat empirik dan pemikiran objek ini tentunya berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran budaya, estetika dan filsafat yang dapat diuji atai diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan Islam bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan objek yang ditelaah, maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empirik maupun pemikiran.secara garis besar ilmu dakwah mempunyai tiga asumsi mengenai objeknya. Asumsi pertama bahwa objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokan beberapa objek dalam kegiatan yang serupa kedalam satu golongan. Asumsi kedua bahwa kegiatan ilmu dakwah disamping menyampaikan misi ajaran islam juga mempelajari tingkah laku satu objek dalamkegiatan tertentu. Asumsi ketiga bahwa suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama, disamping asumsi-asumsi tersebut dakwah sebagai ilmu atau ilmu dakwah, mengandung dua aspek yang pokok yaitu aspek fenomental dan aspek structural.2
Aspek fenomental menunjukan ilmu dakwah yang mengewejantahkan dalam bentuk masyarakat proses dan produk, sebagai masyarakat atau kelompok“elit” yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah ynag menurut paradigma Mertan disebut universalisme, komunise,disent erestedn ess, dan skepsisme yang teratur dan terarah sebagai proses ilmu dakwah menampakan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit dalam upayanya menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, ekspedisi, seminar, kongres dan lain-lainnya, sedangkan sebagai produk ilmu dakwah dan menghasilkan berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan dan lain sebagainya disebar luaskan melalui karya-karya publikasi dan kemudian diwariskan kepada madsyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukan bahwa ilmu dakwah disebut sebagai ilmupengetahuan apabila didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui(G egenstand).
2. Objek sasaran ini terus menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Adalah suatu cara paradiks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan-permasalahan baru yang mendorong terus dipertanyakan.
3. Ada alasan mengapa Geganstand terus dipertanyakan.
4. jawaban yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam sebuah sistim.
Disamping aspek-aspek tersebut, maka berbicara strategi perkembangan ilmu dakwah dapat dilihat kedalam beberapa hal, bahwa ilmu dan konteks dengansience sehingga menimbulkan adanya gagasan baru yang actual dan relevan, sedangkan yang berpendapat bahwa ilmu lebur dalam konteks. Tidak saja merefleksikan tetapi juga memberi dasar pembaharuan bagi konteks.
Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa kini sangat dirasakan urgensinya untukmenjelaskan dan mengarahkan perkembangkan ilmu dakwah atas dasar context ofdiscovery dan tidak hanya berhenti atas dasar context of justification.
Strategi pengembangan ilmu dakwah yang paling tepat, kiranya adalah sebagaiberikut:
1. Visi orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai islam didalam mengahadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data/fakta objektif dalam satu kesatuan interogrative.
2. Visi dan orientasi oprasionalnya diletakkan pada dimensi sebagai berikut:
a) Tehologis dalam arti bahwa ilmu dakwah hanya sekedar sarana yang memang harus kita pergunakan untuk mencapai suatu leleos (tujuan), yaitu sebagaimana ideal kita kita untuk mewujudkan cita-cita masyarakat ilsmai.
b) Etis dalam arti bahwa ilmu dakwah kita harus oprasionalkan untuk meningkatkan, sebab manusia hidup dalam relasi baik dengan sesama maupun dengan masyarakat yang menadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus diintegrasikan kedalam msayarakat yang juga harus ditigkatkan kualitas strukturnya.
Menurut Sukriadi Sambas, kajian ontology keilmuan ilmu dakwah yaitu mencakup haikat/keapaan dakwah, hakikat ilmu dakwah itu dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah dan kemudian dikumpulkan oleh umat Islam secara sistematis dan terorganisir yang membahas interaksi antar unsur dalam sistem melaksanakan kewajiban dengan maksud mempengaruhi, pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah sehingga akan dapat diperoleh susunan ilmu yang bermanfaat bagi tugas pedakwah dan khalifah umat Islam.
B. Ladasan Epitimologi Ilmu Dakwah.
Pada hakikatnya gerakan dakwah islam terporos pada amar ma’ruf nahi munkar , ma’ruf mempunyai arti segala perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan munkar yaitu perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah. Pada tartan amar ma’ruf siapapun bisa melakukannya karena kalau hanya sekedar menyuruh kepada kebaikan itu mudah dan tidak ada resiko bagi si penyuruh. Lain halnya dengan nahi munkar, jelas mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya, karena mencegah kemunkaran harus sinergis dengan tindakan konkrit, nyata dan dilaklukan atas dasar kesadaran yang tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran. Oleh karena itu ia harus berhadapan secara Vis a vis dengan objek yang melakukan tindakan kemunkaran itu.
Berangkat dari penjelasan diatas, dalam mengembangkan dakwah islam selanjutnya, perlu kiranya dipertegas mengenai epistimologi dakwah secara keilmuan. Rumusan disini menyangkut yang berkenaan dengan hakikat, landasan, batas-batas kelimuannya termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah dan persoalan ilmiah yang dapat diuji.Yang menjadi batasan tegasmainstreem dasar dalam keilmuan dakwah disiniadalah dakwah sebagai kebenaran ilmu, karena yang dibahas kajian wilayah epistimologinya. Oleh karena itu, maka teori pengetahuan kebenarannya adalah kebenaran ilmu dan bukan kebenaran agama, kebenaran ilmu diuji sejauh mana keabsahan suatu pengetahuan itu, dan ini memerlukan pembuktian. Hal ini diperlukan karena dataran epistimologi merupakan struktur fundamentral untuk membangun dan megembangkan dakwah islam yang pada akhir lebih sistematis-konstruktif dalam aplikasi terapanya. Tanpa structural fundamental yang jelas, dakwah selalu diberi pegertian konotasi dan denotasi yang baik dan fositif. Padahal perlu secara rinci mengenai apa maknalit erer dari dakwah itu, kalau pengertian dakwah secara asal bahasanya itu “panggilan” lalu panggilan kemana ? atau untuk apa ?.
Penjelasan rinci tersebut tetap diperlukan, karena kalau tidak dakwah hanya mernjadipreve lles bagu orang-orang tertentu, dan dengan gaya serta jabaran tertentu pula, misalnya pelakunya dibungkus status quo dengan sebutan da’i atau mubaligh yang serning kali masyarakat awam atau pada umumnya menempatkan apada macam tertinggi, yakni sebagai acuan dalam berfikir dab bertindak, atau bahkan sampai ditingkat ma’sum yangtaken for granted.
Secara umum, epistimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, ilmu sabagi proses adalah usaha pemikiran yang sistematis dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu. Pertanyaan mengenai apakah objek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dipakai dalam kajian ilmu, kebenaran objektif, subjektif, absolut dan relatif, merupakan linkup serta medan kajian epistimologi in general.
Secara keilmuan epistimologi mempunyai kedudukan yang sesungguhnya jauh lebih mendasar yakni menurut landasan, batas-batas dan bahkan basis keshohihan pengetahuan dari akarnya sampai dengan melewati dimensi fisiknya sebagai cabang dalam filsafat epitimologi secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan. Istilah epistimologi berasal dari bahasda yunani, yakni episteme dan logos diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran, sedangkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dengan demikian secara etimolgi dapat diartiakan pula sebagai teori pengetahuan yang lazim dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan atau juga teori pengetahan. Teori pengetahuan ini berasal dari bahasa inggris yakni theory of knowledge.
Untuk menemukan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan ilmu dakwah itupenulis mencoba menelusurinya rancang bangun filsafat, pengetahuan Islam sebagaimanapernah dipetakan tradisi keilmuan tersebut oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri dalam kerjanya Bunya Al-Aql Al-Arabi (1993) dan sekaligus ini dijadikan sebagai titik tolak metodologis untuk membangun epitimologi keilmuan dakwah. Adapun penjelasan konkritnya sebagai berikut:
1. Melalui cara pengetahuan bayani atau lazim disebut epitimologi bayani, bayani(expianatory) secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, penjelasanperenyataan ketetapan, sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma, dan ijtihad. Epistimolgo bayani merupakan studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
2. Melalui cara pengetahuan“irfani” atau lazim disebut epistimologi irfani, irfani secara epistimologi irfani(Gnosis) berarti Al-Ma’rifah, Al-Ilm, Al-hikmah. Epistimologi irfani eksistensial berpangkal pada Zauq, gaih, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan illuminasi, dan yang berakar pada tradisi Hemes.
3. Melalui pengetahuan burhani, atau lazim disebut epistimologi burhani. Burhani(demontraty) secara bahasa berarti argumentasi yang jelas, sedangkan menurutistilah (logika) berarti aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode deduktif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi lainnya yang bersifat aksiomotik atau setiap aktivitas intelektual untuk menetapkan kebenaran suatu proposisi.
Ketiga bentuk epistimolgi (islam) tersebut diatas merupakan bagian teori pengetahuan dalam aplikasi terapannya ditengah pergerumulan kajian keislaman dewasa ini, termamsuk didalamnya ilmu dakwah. Oleh karena itu ketiga bentuk epistimologi diatas dalam hubungannya dengan dakwah (islam), pemikirannya dijelaskan secara konkrit dalam rangka menemukan dan merumuskan epistimologi dakwah secara keilmuan konseptual. Langkah awal penulis lakukan disini adalah mencoba merumuskan bagian-bagian runtutan secara teoritik dan kemudian dan dijabarkan dalam bentuk aplikasi dan keilmuan dakwah (islam). Adapun urutan teoritik sebagai berikut:
1. Sumber-sumber ilmu dakwah, yakni meliputi nash/teks (otoritas suci), Al-Khobar dan Al-Ijma (otoritas salaf), kemudian teoritas termasuk didalamnya alam, social, han humanitas (dalam bentuk keislaman dikenal dengan tuhan(theosentris). Manusia(antroposentris ) dan alam(kosmosentris ).
2. Metode dan proses-proses atau prosedur keilmuan dakwah, yakni ijtihadiyah,
istinbathiyah, qiyas, dan abtraksi.
3. pendekatan (approach) keilmuan dakwah, yakni bahasa (lughawiyah) Filosifis, psikologi, sosiologi, antropologi, etik, estetik, dan hal-hal yang terkait erat denganscientifik atau ilmu bantu sejauh dibenarkan secara etik akademik.
4. Kerangka teoritik ilmu dakwah, yakni pola pikir deduktif yangberpangkal pada teks/nash, pola pikir induktif berdasarkan pengalaman dan kenyataan realitas, qiyas, dan premis logika dan silogisme.
5. Fungsi dan peran akal dalam ilmu dakwah yakni akal difungsikan sebagai pengekang hawa nafsu atau pengatur hawa nafsu dan juga sebagai alat pengukuhkan kebenaran atas kebenaran mutlak.
6. Tipe argumentasi ilmu dakwah, yakni apologetik, dialektika(jadaly ), dogmatic, dan
7. ekspiorasi-verifikatif.
8. Tolak ukur validitas keilmuan dakwah, yakni adapendekatan dan relasi kuasa antara kontek sebagai relaitas, dan korespondensi yang berdasarkan data dan fakta dari kenyataan-kenyataannya.
9. Prinsip-prinsip dasar ilmu dakwah,yakni ontology deduktif dan induktif, qiyas dan
prinsip kausalitas.
10. Kelompok ilmu-ilmu bantu dalam keilmuan dakwah, yakni filosofis, psikologi, antropologi, sosiolgi, sejarah peradaban kontemporer, ilmu komnukasi dan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip komunikasi pada umunya.
11. Hubungan subjek dan objek ilmu dakwah yakni ada keterkaitan secara objektif dansubjektif.
Secara epistimologi menurut Syukriadi Sambas, ilmu dakwah melibatkan kajian-kajin yang
menyangkut:
1. kajian ontologis, keilmuan dakwah (mengungkap hakikat).
2. kajian secara epistimologi menyangkut:
a. Jenis kegiatan dakwah fenomena keilmuan dakwah (1) kegiatan tabligh islami (komunakikasi penyiaran islam, bimbingan penyuluhan islam, pengembangan masyaraka tislam).
b. Dakwah sebagai fenomena keilmuan (mengungkap para pakar yang
c. mengkaji dakwah).
d. Sejarah pemikiran dakwah.
e. Objekn kajian ilmu dakwah (1) objek material: semua aspek ajaran-ajaran islam yang bersumber pada Al-quran dan sunnah, serta produk ijtihad (2) objek formula mengkaji salah satu objek material, yakni kegiatan dakwah itu sendiri.
C. Landasan Aksilogi Ilmu Dakwah.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
a. Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam
a. menjadi tatanan Khoirul-Ummah.
b. Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
c. c.Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh krena itu, ilmu dakwah dapat dipandang sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganyaakan mengandung konsekuensi yang berbeda:
1. Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ktivitas konkrit. Sebagai ilmu, criteria keilmuan seperti struktur yang jelas, sistematika, metodologi serta alur pikir yang“maton” terargumentasikan. Sebagai objek kajian harus jelas pula sudut tinjauanmaupun disipilin keilmuan yang dapat dijadikan alat pendekatan. Sebagai praktikyang harus dimiliki persyaratan tertentu dalam pelaksanaannya.
2. Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
a. Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories tertentu dan histories yang lain.
b. Di dalam umat terjadi perbedaan yang melahirkan komunitas Islam yang “bersaing”. Sunni, Syi’I dan Khariji yang masing-masing mengklaim monopoli kebenaran. Yang terpenting dalam pendekatan dakwah adalah dilakukan dialog terus menerus dengan menjernihkan mana masalah yang bersifat substansial.Sehingga dakwah berarti mencegah terjadinya perselesihan besar di kalanganumat atau al-fitnah al-kubra.
c. Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
3. Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog. Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran. Tidak terbatas hanya pada pengertian dakwah sebagai praktik, objek kajian atau lebih sebagai ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
1. Andi Dermawan, dkk. (ed).“metodologi ilmu dakwah”. Yogyakarta. Kurnia Kalam Semesta. 2002.
2. Agus Ahmad Safei“memimpin hati yang selesai”. Bandung: Pustaka setia. 2003.
3. Syamsuddin RS.“ilmu dakwah islam”.Bandung.
4. Mustansyir, Rizai dan Munin, Misnal.“filsafat ilmu”. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2001.
5. Jujun Suriasumantri,“ilmu dalam perspektif moral dan politik”. Jakarta: Gramedia. 1986.
6. Wihardjo, Like, ilmu:Antara sikap dan pengetahuan. Prisma No 3 tahun XVI maret 1987.
7. Achmad Charris Zubair,“ladasan aksiologi ilmu”. Dalam makalah intership Dosen-dosen filsafat ilmu
pengetahuan se-Indonesia di Yogyakarta, tgl 21 September sampai dengan 5 Oktober1997.
8. Irma Fatimah (ed),Filsafat Islam: kajian ontologis, epistimologis, aksiologis, histories, persfektif.
Yogyakarta. Lesfi. 1992.I
0 komentar:
Posting Komentar